Rapuhnya Penegakan Hukum di Laut Indonesia
Foto: emaritim.com |
Bukan Polisi, bukan KNKT, tapi Syahbandar yang harus melakukan pemeriksaan awal kecelakaan kapal.
Didalam Undang Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran pada Bab XI bagian ketujuh menyebutkan bahwa penanganan kecelakaan kapal adalah di tangan Syahbandar, sebagai pelaksana pemeriksaan pendahuluan. Kemudian dilanjutkan dengan peran Mahkamah Pelayaran RI sebagai pelaksana pemeriksaan lanjutan dan pengambil keputusan terhadap kasus kecelakaan kapal (Bab XIII bagian ketiga).
Terlepas dari fakta bahwa UU no.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran belum memiliki aturan turunan yang memadai, tapi karena bentuk negara Republik Indonesia adalah negara kepulauan, maka keberadaan UU No.17 Tentang Pelayaran ini bisa dianggap sebagai kekhususan bidang angkutan pelayaran itu sendiri bagi NKRI. Kekhususan sifat pelayaran itu sendiri dalam arti hukum di kategorikan sebagai hal yang Lex Specialis.
Sementara jika kita membandingkan penegakan hukum pidana yang umum, seperti tercantum di KUHAP BAB IV Tentang Penyidikan dan Penuntutan, hal ini lebih bersifat umum. Jika dikaitkan dengan kasus kecelakaan kapal, maka apa yang termuat dalam UU. NO. 17 Th.2008 Tentang Pelayaran adalah hal yang bersifat “lex specialis derogate lex generali” terhadap KUHAP yang disebut diatas.
Disinilah sifat azas lex specialis yang merupakan secondary rules menjadi nyata, untuk dapat menentukan aparat penegak hukum yang mana yang berwenang melaksanakan pemeriksaan terhadap kasus kecelakaan kapal. Aturan yang khusus menjadi “aturan hukum” yang mengikat, sementara aturan yang umum menjadi “aturan perundang-undangan" saja, Oleh karena itu Pemeriksaan Pendahuluan dari kasus kecelakaan kapal, apapun kecelakaan itu (tabrakan, kandas, kebakaran dan tenggelam) harus dilaksanakan oleh Syahbandar sesuai pasal 220 – 221 UU. NO. 17 Th. 2008 Tentang Pelayaran . Kemudian pemeriksaan lanjutan dan keputusan dilaksanakan oleh Mahkamah Pelayaran RI sesuai pasal 251 – 253 Undang Undang tersebut .
Kurang konsistennya aparat negara untuk patuh kepada produk Undang Undang yang mengikat kegiatan pelayaran sering menjadi pemicu kesimpang siuran penanganan kegiatan pelayaran di Indonesia. Sebagai contoh, apabila terjadi kecelakaan kapal maka instansi yang sering masuk kedalam pemeriksaan awal adalah dari kepolisian atau KNKT, bukan syahbandar terdekat.
Hal ini tentu tidak serta merta terjadi begitu saja, jika menilik kepada fungsi dan tugas dari seorang syahbandar seperti yang tertulis didalam UU No.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran maka akan terlihat bahwa kurangnya SDM di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang memenuhi kualifikasi untuk menjadi syahbandar bisa ditengarai sebagai salah satu pemicu lunturnya nilai dan fungsi seorang syahbandar di Indonesia.
Indonesia memiliki Undang undang nomor 5 tentang Aparatur Sipil Negara yang menjadi pegangan setiap instansi pemerintahan dalam merekrut, merotasi, mempromosi dan memutasi Aparatur Sipil Negara. Didalam UU nomor 5 tentang ASN tersebut sudah jelas disebut berulang-ulang kata KOMPETENSI sebagai acuan dasar dalam hal merekrut, rotasi, mutasi dan promosi. Dalam menempatkan seseorang menjadi syahbandar di sebuah Unit Penyelenggara Pelabuhan, syarat kompetensi seperti yang dimaksud dalam UU no.5 tentang ASN harusnya menjadi acuan baku. Karena kekhususan jabatan maka tugas syahbandar tidak boleh di serahkan kepada yang tidak memahami dan tidak memiliki dasar pendidikan yang kuat.
Sebagai akibatnya, para syahbandar yang semestinya bertindak sebagai pelaksana pemeriksa pendahuluan (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) malah melemparkan hal tersebut kepada pihak kepolisian. Praktik seperti ini akhirnya menjadi seperti praktek lazim di Indonesia, bahkan banyak syahbandar yang dijadikan tersangka atas kecelakaan yang terjadi atas kecelakaan kapal. Suatu kemunduran yang dahsyat, dari pemeriksa menjadi terperiksa
Kegagalan pemerintah dalam pemenuhan SDM yang mumpuni untuk posisi syahbandar, pada akhirnya mengaburkan makna syahbandar itu sendiri. Dan seperti yang kita lihat sekarang, saat terjadi kecelakaan kapal maka bukannya syahbandar, tapi polisi dan KNKT yang masuk.
Didalam Undang Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran pada Bab XI bagian ketujuh menyebutkan bahwa penanganan kecelakaan kapal adalah di tangan Syahbandar, sebagai pelaksana pemeriksaan pendahuluan. Kemudian dilanjutkan dengan peran Mahkamah Pelayaran RI sebagai pelaksana pemeriksaan lanjutan dan pengambil keputusan terhadap kasus kecelakaan kapal (Bab XIII bagian ketiga).
Terlepas dari fakta bahwa UU no.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran belum memiliki aturan turunan yang memadai, tapi karena bentuk negara Republik Indonesia adalah negara kepulauan, maka keberadaan UU No.17 Tentang Pelayaran ini bisa dianggap sebagai kekhususan bidang angkutan pelayaran itu sendiri bagi NKRI. Kekhususan sifat pelayaran itu sendiri dalam arti hukum di kategorikan sebagai hal yang Lex Specialis.
Sementara jika kita membandingkan penegakan hukum pidana yang umum, seperti tercantum di KUHAP BAB IV Tentang Penyidikan dan Penuntutan, hal ini lebih bersifat umum. Jika dikaitkan dengan kasus kecelakaan kapal, maka apa yang termuat dalam UU. NO. 17 Th.2008 Tentang Pelayaran adalah hal yang bersifat “lex specialis derogate lex generali” terhadap KUHAP yang disebut diatas.
Disinilah sifat azas lex specialis yang merupakan secondary rules menjadi nyata, untuk dapat menentukan aparat penegak hukum yang mana yang berwenang melaksanakan pemeriksaan terhadap kasus kecelakaan kapal. Aturan yang khusus menjadi “aturan hukum” yang mengikat, sementara aturan yang umum menjadi “aturan perundang-undangan" saja, Oleh karena itu Pemeriksaan Pendahuluan dari kasus kecelakaan kapal, apapun kecelakaan itu (tabrakan, kandas, kebakaran dan tenggelam) harus dilaksanakan oleh Syahbandar sesuai pasal 220 – 221 UU. NO. 17 Th. 2008 Tentang Pelayaran . Kemudian pemeriksaan lanjutan dan keputusan dilaksanakan oleh Mahkamah Pelayaran RI sesuai pasal 251 – 253 Undang Undang tersebut .
Kurang konsistennya aparat negara untuk patuh kepada produk Undang Undang yang mengikat kegiatan pelayaran sering menjadi pemicu kesimpang siuran penanganan kegiatan pelayaran di Indonesia. Sebagai contoh, apabila terjadi kecelakaan kapal maka instansi yang sering masuk kedalam pemeriksaan awal adalah dari kepolisian atau KNKT, bukan syahbandar terdekat.
Hal ini tentu tidak serta merta terjadi begitu saja, jika menilik kepada fungsi dan tugas dari seorang syahbandar seperti yang tertulis didalam UU No.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran maka akan terlihat bahwa kurangnya SDM di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang memenuhi kualifikasi untuk menjadi syahbandar bisa ditengarai sebagai salah satu pemicu lunturnya nilai dan fungsi seorang syahbandar di Indonesia.
Indonesia memiliki Undang undang nomor 5 tentang Aparatur Sipil Negara yang menjadi pegangan setiap instansi pemerintahan dalam merekrut, merotasi, mempromosi dan memutasi Aparatur Sipil Negara. Didalam UU nomor 5 tentang ASN tersebut sudah jelas disebut berulang-ulang kata KOMPETENSI sebagai acuan dasar dalam hal merekrut, rotasi, mutasi dan promosi. Dalam menempatkan seseorang menjadi syahbandar di sebuah Unit Penyelenggara Pelabuhan, syarat kompetensi seperti yang dimaksud dalam UU no.5 tentang ASN harusnya menjadi acuan baku. Karena kekhususan jabatan maka tugas syahbandar tidak boleh di serahkan kepada yang tidak memahami dan tidak memiliki dasar pendidikan yang kuat.
Sebagai akibatnya, para syahbandar yang semestinya bertindak sebagai pelaksana pemeriksa pendahuluan (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) malah melemparkan hal tersebut kepada pihak kepolisian. Praktik seperti ini akhirnya menjadi seperti praktek lazim di Indonesia, bahkan banyak syahbandar yang dijadikan tersangka atas kecelakaan yang terjadi atas kecelakaan kapal. Suatu kemunduran yang dahsyat, dari pemeriksa menjadi terperiksa
Kegagalan pemerintah dalam pemenuhan SDM yang mumpuni untuk posisi syahbandar, pada akhirnya mengaburkan makna syahbandar itu sendiri. Dan seperti yang kita lihat sekarang, saat terjadi kecelakaan kapal maka bukannya syahbandar, tapi polisi dan KNKT yang masuk.
Saat ini juga marak diberitakan tentang penahanan kapal niaga oleh oknum TNI AL lewat kapal patrolinya, terutama di perairan Kepulauan Riau, Selat Selayar dan beberapa junctionalur pelayaran tempat lewatnya kapal-kapal niaga. Padahal di jalan raya tidak pernah dijumpai TNI AD memeriksa dan menahan moda transportasi darat di Republik ini. Dalam hal angkutan darat, hanya polisi dan Ditjen Perhubungan Darat saja yang mengatur dan memeriksa kelengkapan dokumen mobil. Lalu kenapa hal itu terjadi di angkutan laut ?
Ketidak pahaman pemerintah dari masa ka masa mengenai arti pelayaran niaga untuk kehidupan rakyat Indonesia, membuat pelayaran niaga menjadi sapi perahan dimanapun mereka di periksa oleh aparat penegak hukum dilaut. Tidak satupun bagian dari pemerintah yang datang membantu dan mau mendudukkan persoalan pembagian kewenangan antara Ditjen HUBLA, Polisi, dan TNI AL. Ini menjadikan trauma pemilik kapal, terlebih nakhoda kapal setiap kali kapalnya berjumpa kapal petugas di laut. Bukan rahasia lagi, untuk sesuatu yang dianggap salah oleh petugas bisa mengakibatkan pungli puluhan, sampai ratusan juta rupiah. Bahkan ada yang tidak sungkan meminta uang damai dengan nilai milyaran rupiah.
Hal itu dimungkinkan terjadi karena pemilik kapal banyak yang berpikiran, jika kapalnya ditahan berlama-lama maka kerugian akan sangat besar. Pinalti dari pengirim barang juga menjadi hantu yang membuat pemilik kapal terpojok, jika damai nilainya mahal, tapi jika pergi bersidang ke pengadilan kapal akan tidak beroperasi.
Mimpi menjadi poros maritim dunia adalah bagai pungguk merindukan bulan, apabila penegakan dan kepastan hukum tidak ada di perairan Indonesia. Kapal niaga Indonesia sebagai penggerak utama roda ekonomi negara menjadi kerdil, karena hidup penuh rasa takut dan cemas. Hanya presiden sekaliber Soekarno yang mampu melihat dan paham, jika Indonesia ingin menjadi bangsa maritim yang besar, maka pelayaran niaganya harus besar. Tanpa kapal niaga yang hidup di iklim sehat, Indonesia akan kehilangan kedaulatan di perairannya dan VOC baru akan menguasai seluruh pelabuhan-pelabuhan Indonesia mengangkuti komoditas negara.
Jika ingin selamat dan kembali jadi bangsa yang makmur, maka Presiden Joko Widodo harus mendudukkan seluruh pemangku kepentingan dunia maritim Indonesia; Ditjen Hubla, Polisi, TNI AL dan Pemilik Kapal Niaga dalam satu meja. Samakan visi dan misi, serta sepakati untuk taat hukum, bukan hanya kepada kapal niaga tapi juga kepada 3 pihak lainnya.(emaritim.com).
Ketidak pahaman pemerintah dari masa ka masa mengenai arti pelayaran niaga untuk kehidupan rakyat Indonesia, membuat pelayaran niaga menjadi sapi perahan dimanapun mereka di periksa oleh aparat penegak hukum dilaut. Tidak satupun bagian dari pemerintah yang datang membantu dan mau mendudukkan persoalan pembagian kewenangan antara Ditjen HUBLA, Polisi, dan TNI AL. Ini menjadikan trauma pemilik kapal, terlebih nakhoda kapal setiap kali kapalnya berjumpa kapal petugas di laut. Bukan rahasia lagi, untuk sesuatu yang dianggap salah oleh petugas bisa mengakibatkan pungli puluhan, sampai ratusan juta rupiah. Bahkan ada yang tidak sungkan meminta uang damai dengan nilai milyaran rupiah.
Hal itu dimungkinkan terjadi karena pemilik kapal banyak yang berpikiran, jika kapalnya ditahan berlama-lama maka kerugian akan sangat besar. Pinalti dari pengirim barang juga menjadi hantu yang membuat pemilik kapal terpojok, jika damai nilainya mahal, tapi jika pergi bersidang ke pengadilan kapal akan tidak beroperasi.
Mimpi menjadi poros maritim dunia adalah bagai pungguk merindukan bulan, apabila penegakan dan kepastan hukum tidak ada di perairan Indonesia. Kapal niaga Indonesia sebagai penggerak utama roda ekonomi negara menjadi kerdil, karena hidup penuh rasa takut dan cemas. Hanya presiden sekaliber Soekarno yang mampu melihat dan paham, jika Indonesia ingin menjadi bangsa maritim yang besar, maka pelayaran niaganya harus besar. Tanpa kapal niaga yang hidup di iklim sehat, Indonesia akan kehilangan kedaulatan di perairannya dan VOC baru akan menguasai seluruh pelabuhan-pelabuhan Indonesia mengangkuti komoditas negara.
Jika ingin selamat dan kembali jadi bangsa yang makmur, maka Presiden Joko Widodo harus mendudukkan seluruh pemangku kepentingan dunia maritim Indonesia; Ditjen Hubla, Polisi, TNI AL dan Pemilik Kapal Niaga dalam satu meja. Samakan visi dan misi, serta sepakati untuk taat hukum, bukan hanya kepada kapal niaga tapi juga kepada 3 pihak lainnya.(emaritim.com).
Editor: Yudi