Ini Profil 9 Hakim MK yang di Sidang Sengketa Pilpres 2019
Berikut profil 9 Hakim Mahkamah Konstitusi Disidang Sengketa Pilpres
1. Anwar Usman
Pria kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat pada 31 Desember 1956 ini, mengawali karirnya sebagai guru honorer pada 1975. Pada 1984, Anwar menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta. Dari sana, Anwar kemudian mengikuti tes calon hakim dan diterima sebagai calon hakim pada Pengadilan Negeri Bogor, Jawa Barat.
Anwar juga pernah menjabat sebagai Asisten Hakim Agung mulai dari 1997 – 2003 yang kemudian berlanjut dengan pengangkatannya menjadi Kepala Biro Kepegawaian Mahkamah Agung selama 2003-2006. Lalu pada 2005, dirinya diangkat menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dengan tetap dipekerjakan sebagai Kepala Biro Kepegawaian.
Dia juga tercatat pernah menjabat sebagai Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung periode 2006-2011. Pada 2011 Anwar resmi menjadi hakim konstitusi setelah mengucapkan sumpah di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta. Anwar kemudian terpilih sebagai Ketua MK pada April 2018 menggantikan Arief Hidayat.
2. Aswanto
Guru besar Ilmu Pidana Universitas Hasanuddin ini terbilang sering bersentuhan dengan MK meskipun belum menjadi hakim konstitusi. Aswanto kerap diminta menjadi pembicara dalam berbagai kegiatan MK.
Aswanto juga pernah dipercaya MK menjadi satu dari tiga anggota panitia seleksi Dewan Etik MK, bersama dengan Laica Marzuki dan Slamet Effendi Yusuf, untuk memilih tiga nama anggota Dewan Etik MK yang kini telah resmi bertugas.
Aswanto kemudian memutuskan untuk mendaftar sebagai hakim konstitusi, setelah mantan Ketua MK Akil Mochtar diciduk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terkait kasus suap sejumlah sengketa pilkada.
3. Arief Hidayat
Arief sebelumnya merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, yang kemudian memberanikan diri mendaftar sebagai hakim konstitusi melalui jalur DPR. Pada 1 April 2013, Arief Hidayat dilantik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai hakim konstitusi di Istana Negara.
Sebelum menjadi hakim konstitusi, Arief menjabat sebagai ketua pada beberapa organisasi profesi, seperti Ketua Asosiasi Pengajar HTN-HAN Jawa Tengah, Ketua Pusat Studi Hukum Demokrasi dan Konstitusi, Ketua Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender Indonesia, serta Ketua Pusat Studi Hukum Lingkungan.
Setelah dua tahun menjadi hakim konstitusi, Arief mendapatkan kepercayaan dan terpilih secara aklamasi menjadi Ketua MK periode 2014-2017 menggantikan posisi Hamdan Zoelva.
Lalu pada 2017, Arief kembali dipilih sebagai Ketua MK hingga 2018 karena masa jabatannya sebagai hakim konstitusi telah usai. Namun, DPR akhirnya memutuskan memilih Arief untuk kembali menjabat sebagai hakim konstitusi.
4. Wahiduddin Adams
Sosok yang dikenal dengan panggilan Wahid ini pernah mengenyam ilmu Peradilan Islam, Fakultas Syariah di Institut Agama Islam Negeri Jakarta. Setelah meraih gelar doktor pada 2005, Wahid sempat mengambil program S1 di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah demi meraih gelar sarjana hukum (SH).
Wahid adalah sosok yang gemar berorganisasi. Dia sempat aktif sebagai Ketua Dewan Perwakilan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) selama tiga tahun. Selain itu, ia sempat menjadi anggota Dewan Penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Ketua Bidang Wakaf dan Pertanahan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Wakil Sekretaris Dewan Pengawas Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), dan sejumlah organisasi lainnya.
Sebelum menjadi hakim konstitusi, Wahid menjabat sebagai Direktur Jenderal Perundang Undangan Kementerian Hukum dan HAM. Wahid mendaftar sebagai hakim konstitusi melalui jalur Seleksi Hakim Konstitusi oleh DPR.
5. I Dewa Gede Palguna
Cita-cita Palguna remaja adalah menjadi seorang tentara, tepatnya penerbang pesawat tempur Angkatan Udara. Sayangnya, Palguna muda gagal dalam seleksi administrasi.
Mahasiswa Teladan tahun 1986 ini pernah ditawari menjadi diplomat, namun pada akhirnya dia memutuskan menjadi dosen. Profesi sebagai akademisi dan keaktifannya menulis kemudian mengantarkan Palguna menjadi anggota MPR RI Periode 1999- 2004 sebagai utusan daerah.
Palguna menjadi salah satu pelaku sejarah ketika MPR RI mengamandemen UUD 1945. Sebelum masa jabatannya usai, pada 2003, Palguna dicalonkan DPR RI menjadi hakim konstitusi dan terpilih pada periode pertama sekaligus menjadi yang termuda pada saat itu.
6. Suhartoyo
Pada awalnya, Suhartoyo berharap dapat bekerja di Kementerian Luar Negeri. Namun kegagalannya menjadi mahasiswa ilmu sosial politik memberi berkah tersendiri karena ia akhirnya memilih mendaftarkan diri menjadi mahasiswa Ilmu hukum.
Suhartoyo tertarik untuk menjadi seorang jaksa, bukan menjadi seorang hakim. Namun, akhirnya dia ikut mendaftar dalam ujian menjadi hakim. Dia pun memulai kariernya sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri Bandar Lampung.
Dia juga dipercaya menjadi hakim Pengadilan Negeri di beberapa kota hingga tahun 2011, di antaranya Hakim PN Curup (1989), Hakim PN Metro (1995), Hakim PN Tangerang (2001), Hakim PN Bekasi (2006) sebelum akhirnya menjabat sebagai Hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar.
Ia juga terpilih menjadi Wakil ketua PN Kotabumi (1999), Ketua PN Praya (2004), Wakil Ketua PN Pontianak (2009), Ketua PN Pontianak (2010), Wakil Ketua PN Jakarta Timur (2011), serta Ketua PN Jakarta Selatan (2011).
Suhartoyo terpilih menjadi hakim konstitusi menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi yang habis masa jabatannya sejak 7 Januari 2015 lalu. Pada 17 Januari 2015, pria kelahiran Sleman ini mengucap sumpah di hadapan Presiden.
7. Manahan MP Sitompul